PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 104
TAHUN 2000
TENTANG
DANA
PERIMBANGAN
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Dana
Perimbangan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah
dengan perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3569);
3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3687);
4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988)
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3839);
6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil
Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 36)
M E M U T U S K A N
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG DANA PERIMBANGAN.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. |
Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan aspirasi masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
2. |
Dana Peimbangan adalah dana yang bersumber dari
penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk membiayai
kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. |
3. |
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari
APBN, yang dialokasikan denan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antar-Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi. |
4. |
Dana Alokasi Khusus adalah dana yang berasal dari
APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai
kebutuhan tertentu |
5. |
Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah adalah salah satu Sekretariat dalam Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. |
6. |
Menteri Teknis adalah yang bertugas dan bertanggung
jawab dibidang teknis tertentu. |
BAB II
BAGIAN DAERAH DARI PENERIMAAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN,
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, DAN PENERIMAAN DARI
SUMBERDAYA ALAM
Bagian Pertama
Bagian Daerah Dari Penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan
Pasal 2
(1) |
Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan diagi
dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90%
(sembilan puluh persen) untuk daerah.
|
(2) |
Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk
Daerah. |
|
a. |
16,2% (enam belas koma dua persen) untuk Daerah
Propinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening Kas Daerah
Propinsi; |
|
b. |
64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk
daerah Kabupaten / Kota yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening
Kas Daerah Kabupaten/Kota; |
|
c. |
9% (sembilan persen) untuk biaya Pemungutan dan
disalurkan ke rekening Kas Negara dan Kas Daerah |
Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian hasil penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan diatur sesuai dengan peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 4
(1) |
Bagian Pemerintah Pusat dari Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dibagikan kepada seluruh
Kabupaten/Kota. |
(2) |
Alokasi pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) didasarkan atas realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
Tahun Anggaran berjalan. |
(3) |
Besarnya alokasi pembagian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur sebagai berikut: |
|
a. |
65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata
kepada seluruh Kabupaten/Kota |
|
b. |
35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai
insentif kepada Kabupaten dan Kota yang realisasi penerimaan Pajak
Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan berhasil melampaui
rencana penerimaan yang telah ditetapkan pada tahun anggaran
sebelumnya. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan bagian Pemerintah Pusat ke Kabupaten/Kota
dan penyalurannya diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan. |
Bagian Kedua
Bagian Daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan
Pasal 5
(1) |
Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk
Pemerintahan Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk
Daerah. |
(2) |
Bagian Daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi untuk Daerah
dengan rincian sebagai berikut: |
|
a. |
16% (enam belas persen) untuk Daerah Propinsi yang
bersangkutan dan disalurkan ke rekening Kas Daerah Propinsi; |
|
b. |
64% (enam puluh empat persen) untuk Daerah
Kabupaten/Kota penghasil dan disalurkan ke rekening Kas Daerah
Kabupaten/Kota. |
Pasal 6
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian hasil penerimaan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 dan penyalurannya diatur sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 7
(1) |
Bagian Pemerintah Pusat dari penerimaan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk
Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia. |
(2) |
Alokasi pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) didasrkan atas realisasi penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan Tahun Anggaran berjalan dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyaluran
penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan bagian
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatus dengan
Keputusan Menteri Keuangan. |
Bagian Ketiga Bagian Daerah dari Penerimaan Sumber
Daya Alam
Pasal 8
Penerimaan Negara dari sumber daya sektor kehutanan, sektor
pertambangan umum, dan sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan
dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan
80% (delapan puluh persen) untuk daerah.
Pasal 9
(1) |
Penerimaan Negara dari sumber daya lam sektor
kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terdiri
dari: |
|
a. |
Penerimaan Iuran Hak Penguasaan Hutan; |
|
b. |
Penerimaan Provinsi Sumber Daya
Hutan |
(2) |
Bagian Daerah dari penerimaan negara Iuran Hak
Penguasaan Hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dibagi
dengan perincian: |
|
a. |
16% (enam belas persen) untuk Daerah Propinsi yang
bersangkutan; |
|
b. |
64% (enam puluh empat persen) untuk Daerah
Kabupaten/Kota penghasil. |
(3) |
Bagian Daerah dari penerimaan negara Provisi Sumber
Daya Hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dibagi
dengan perincian: |
|
a. |
16% (enem belas persen) untuk Daerah Propinsi yang
bersangkutan; |
|
b. |
32% (tiga puluh dua persen) untuk Daerah
Kabupaten/Kota penghasil; |
|
c. |
32% (tiga puluh dua persen) untuk Daerah
Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi yang
bersangkutan. |
Pasal 10
(1) |
Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan umum
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 8 terdiri dari: a. Penerimaan
Iuran Tetap (Land-rent) b. Penerimaan Iuran Eksplorasi dan
Iuran Tetap (Land-rent) |
(2) |
Bagian Daerah dari penerimaan negara Iuran Tetap
(Land-rent) sebagaimana dimaksudkan dimaksud dalam ayat (1) huruf a,
dibagi dengan perincian: |
|
a. |
16% (enam belas persen) untuk Daerah Propinsi yang
bersangkutan; |
|
b. |
64% (enam puluh empat persen) untuk Daerah
Kabupaten/Kota penghasil. |
(3) |
Bagian Daerah dari penerimaan negara Iuran Eksplorasi dan Iuran
Eksploitasi (Royalty) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
debagi dengan perincian: a. 16% (enam belas persen) untuk Daerah
Propinsi yang bersangkutan; b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk
Daerah Kabupaten/Kota penghasil; c. 32% (tiga puluh dua persen)
untuk Daerah Kabupaten/Kota lainnya dalam propinsi yang
bersangkutan. |
(4) |
Bagian Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua
Kabupaten/Kota dalam Propinsi yang bersangkutan. |
Pasal 11
(1) |
Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor
perikanan sebagaimana dimaksud Pasal 8 terdiri dari: |
|
a. Penerimaan Pengutan Penguasaan Perikanan; |
|
b. Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan |
(2) |
Bagian Daerah dari penerimaan negara sektor
perikanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagikan dengan porsi
yang sama besar kepada Kabupaten/Kota di seluruh
Indonesia. |
Pasal 12
(1) |
Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor
pertambangan minyak dan gas alam yang dibagikan ke darah adalah
penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak
dan gas alam dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi
komponen pajak dan pungutan lain. |
(2) |
Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi dan
gas alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) dibagi sebgai
berikut: |
|
a. |
Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi
dibagi dengan imbangan 85% (delapan puluh lima persen) untuk
pemerintah pusat dan 15% (lima belas persen) untun Daerah. |
|
b. |
Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam dibagi
dengan imbangan 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan
30% (tiga puluh persen) untuk Daerah |
(3) |
Bagian Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf a, dibagi dengan rincian sebagi berikut : |
|
a. |
3% (tiga persen) dibagikan untuk Propinsi yang
bersangkutan; |
|
b. |
6% (enam persen) dibagikan untuk Kabupaten/Kota
penghasil; |
|
c. |
6% (enam persen) dibagikan untuk Kabupaten/Kota
lainnya dalam Propinsi yang bersangkutan |
(4) |
Bagian Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua
Kabupaten/Kota dalam Propinsi yang bersangkutan. |
(5) |
Bagian Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf b, dibagi dengan rincian sebagai berikut: |
|
a. |
6% (enam persen) dibagikan untuk propinsi yang
bersangkutan; |
|
b. |
12% (dua belas persen) dibagikan untuk
Kabupaten/Kota penghasil; |
|
c. |
12% (dua belas persen) dibagikan untuk
Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi yang
bersangkutan. |
(6) |
Bagian Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua
Kabupaten/Kota dalam Propinsi yang bersangkutan. |
Bagian Keempat Tata Cara Penghitungan dan Penyaluran
Bagian Daerah dari Penerimaan Sumber Daya Alam
Pasal 13
(1) |
Menteri Teknis setelah berkonsultasi dengan Menteri
Dalam Negeri dan Otonomi Daerah menetapkan Kabupaten/Kota penghasil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12. |
(2) |
Menteri Teknis menetapkan dasar penghitungan bagian
Daerah Kabupaten/Kota penghasil setelah berkonsultasi dengan Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah. |
(3) |
Menteri Teknis menyampaikan dasar penghitungan
bagian Daerah Kabupaten/Kota penghasil kepada Menteri Keuangan,
Gubernur, dan Bupati/Walikota yang bersangkutan. |
(4) |
Menteri Keuangan menetapkan jumlah dana bagian
Daerah untuk masing-masing Daerah. |
Pasal 14
(1) |
Jumlah dana bagian Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (4) disalurkan langsung ke Kas Daerah oleh Menteri
Keuangan secara berkala. |
(2) |
Ketentuan pelaksanaan penyaluran bagian Daerah dan
sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan |
BAB III
DANA ALOKASI UMUM
Pasal 15
(1) |
Dana Alokasi Umum dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk membiayai kebutuhan
pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. |
(2) |
Penggunaan Dana Alokasi Umum diteteapkan oleh
Daerah. |
Pasal 16
(1) Dana Alokasi Umum terdiri dari:
a. |
Dana Alokasi Umum untuk Propinsi; |
b. |
Dana Alokasi Umum untuk Daerah
Kabupaten/Kota |
(2) |
Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25%
(dua puluh lima persen) dari Penerimaaan Dalam Negeri Yang
ditetapkan dalam APBN |
(3) |
Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan untuk
Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% (sepuluh persen)
dan 90% (sembilan puluh persen) dari Dana Alokasi Umum sebagaimana
yang ditetapkan dalam ayat (2). |
Pasal 17
(1) |
Dana Alokasi Umum Bagi masing-masing Daerah Propinsi
dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 16
ayat (3) dihitung berdasarkan perkalian dari jumlah Dana Alokasi
Umum bagi seluruh Daerah, dengan bobot Daerah yang bersangkutan
dibagi dengan jumlah masing-masing bobot seluruh Daerah di seluruh
Indonesia. |
(2) |
Bobot Daerah sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1)
ditetapkan berdasarkan |
|
a. Kebutuhan wilayah otonomi Daerah; |
|
b.Potensi ekonomi Daerah |
(3) |
Kebutuhan wilayah otonomi Daerah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dihitung berdasarkan perkalian antara
Pengeluaran Rata-Rata dengan penjumlahan dari Indeks Penduduk,
Indeks Luas Daerah, Indeks Harga Bangunan dan Indeks Kemiskinan
Relatif setelah dibagi empat. |
(4) |
Potensi ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dihitung berdasarkan perkalian antara penerimaan daerah
rata-rata dengan penjumlahan dari Indeks industri, Indeks sumber
daya alam, dan Indeks sumberdaya manusia setelah dibagi tiga. |
(5) |
Dana Alokasi Umum suatu Daerah adalah Kebutuhan
Daerah yang bersangkutan dikurangi Potensi ekonomi Daerah. |
(6) |
Bobot Daerah adalah proporsi kebutuhan Dana Alokasi
Umum suatu Daerah dengan Total Kebutuhan Dana Alokasi Umum seluruh
Daerah. |
(7) |
Hasil perhitungan Dana Alokasi Umum untuk
masing-masing Daerah ditetapkan dengan Keputusan Presiden
berdasarkan usulan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. |
(8) |
Usulan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sebagaimana
dimaksudkan dalam ayat (7) setelah mempertimbangkan faktor
penyeimbang. |
Pasal 18
(1) |
Rincian Dana Alokasi Umum kepada masing-masing
Daerah disampaikan oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah |
(2) |
Penyaluran Dana Alokasi Umum kepada masing-masing
Kas Daerah dilaksanakan oleh Menteri Keuangan secara berkala. |
(3) |
Ketentuan pelaksanaan penyaluran Dana Alokasi Umum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diataur lebih lanjut dengan
keputusan Menteri Keuangan. |
BAB IV DANA ALOKASI KHUSUS
Pasal 19
(1) |
Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN
depada Daerah tertentu untuk membantu membiayai khusus, dengan
memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. |
(2) |
Kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah: |
|
a. |
kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum
dengan menggunakan rumus alokasi umum; dan atau |
|
b. |
kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas
nasional |
(3) |
Kriteria teknis sektor/kegiatan yang dapat dibiayai
dari Dana Alokasi Khusus ditetapkan oleh Menteri Teknis/instansi
terkait. |
(4) |
Sektor/kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari Dana
Alokasi Khusus adalah biaya administrasi, biaya penyiapan proyek,
biaya penelitian, biaya pelatihan, biaya perjalanan pegawai Daerah
dan lain-lain biaya umum sejenis. |
(5) |
Penerimaan negara yang berasal dari Dana Reboisasi
sebesar 40% (empat puluh persen) disediakan kepada kepada Daerah
penhasil sebagai bagian Dana Alokasi Khusus untuk membiayai kegiatan
reboisasi dan penghijauan oleh Daerah penghasil. |
Pasal 20
Jumlah Dana Alokasi Khusus ditetapkan setiap tahun dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan masing-masing bidang
pengeluaran yang disesuaikan kebutuhan.
Pasal 21
(1) |
Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2) huruf a, dialokasikan kepada Daerah tertentu berdasarkan
usulan Daerah. |
(2) |
Pembiayaan kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 memerlukan dana penda,ping dari penerimaan Umum
APBD. |
(3) |
Porsi dana pendampingan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) ditetapkan sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen). |
(4) |
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3) adalah pembiayaan kegiatan reboisasi
yang berasal dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (5) |
(5) |
Pengalokasian Dana Alokasi Khusus kepada Daerah
ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah memperhatikan pertimbangan
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri teknis terkait dan
instansi yang membidangi perencanaan pembangunan
nasional. |
Pasal 22
(1) |
Ketentuan tentang penyaluran Dana Alokasi Khusus
kepada Daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan. |
(2) |
Ketentuan pelaksanaan penyaluran Dana Alokasi Khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri Keuangan. |
Pasal 23
(1) |
Menteri Teknis/instansi terkait melakukan pemantauan
dari segi teknis terhadap proyek/kegiatan yang dibiayai dari Dana
Alokasi Khusus |
(2) |
Pemerikasaan atas penggunaan Dana Alokasi Khusus
oleh Daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. |
BAB V KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 24
(1) |
Dengan berlakukanya Peraturan Pemerintahan ini,
pelaksanaan alokasi Dana Alokasi Umum disesuaikan dengan proses
penataan organisasi pemerintahan daerah dan proses pengalihan
pegawai ke Daerah. |
(2) |
Dalam hal pegawai Pemerintah Pusat yang telah
ditetapkan untuk dialihkan kepada Daerah belum sepenuhnya menjadi
beban Daerah, pembayaran gaji pegawai tersebut diperhitungkan dengan
alokasi Dana Alokasi Umum bagi Daerah yang bersangkutan. |
(3) |
Jangka waktu masa peralihan adalah sampai dengan
semua pegawai Pemerintah Pusat yang telah ditetapkan untuk dialihkan
kepada Daerah telah sepenuhnya menjadi beban Daerah yang
bersangkutan |
BAB IV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2001. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd
DJOHAN EFFENDI |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
|
|