PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 104 TAHUN 2000

TENTANG

DANA PERIMBANGAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Dana Perimbangan;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3569);

3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3687);

4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988)

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 36)

M E M U T U S K A N

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG DANA PERIMBANGAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan aspirasi masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Dana Peimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk membiayai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
3. Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan denan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
4. Dana Alokasi Khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu
5. Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah salah satu Sekretariat dalam Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
6. Menteri Teknis adalah yang bertugas dan bertanggung jawab dibidang teknis tertentu.

BAB II

BAGIAN DAERAH DARI PENERIMAAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN,
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, DAN
PENERIMAAN DARI SUMBERDAYA ALAM

Bagian Pertama

Bagian Daerah Dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

Pasal 2

(1) Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan diagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk daerah.
(2) Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk Daerah.
  a. 16,2% (enam belas koma dua persen) untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening Kas Daerah Propinsi;
  b. 64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk daerah Kabupaten / Kota yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota;
  c. 9% (sembilan persen) untuk biaya Pemungutan dan disalurkan ke rekening Kas Negara dan Kas Daerah

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan diatur sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 4

(1) Bagian Pemerintah Pusat dari Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dibagikan kepada seluruh Kabupaten/Kota.
(2) Alokasi pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Tahun Anggaran berjalan.
(3) Besarnya alokasi pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur sebagai berikut:
  a. 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota
  b. 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada Kabupaten dan Kota yang realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan berhasil melampaui rencana penerimaan yang telah ditetapkan pada tahun anggaran sebelumnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan bagian Pemerintah Pusat ke Kabupaten/Kota dan penyalurannya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Bagian Kedua

Bagian Daerah dari Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan

Pasal 5

(1) Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintahan Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
(2) Bagian Daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi untuk Daerah dengan rincian sebagai berikut:
  a. 16% (enam belas persen) untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening Kas Daerah Propinsi;
  b. 64% (enam puluh empat persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan disalurkan ke rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 6

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian hasil penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan penyalurannya diatur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 7

(1) Bagian Pemerintah Pusat dari penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia.
(2) Alokasi pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasrkan atas realisasi penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Tahun Anggaran berjalan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyaluran penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatus dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Bagian Ketiga
Bagian Daerah dari Penerimaan Sumber Daya Alam

Pasal 8

Penerimaan Negara dari sumber daya sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.

Pasal 9

(1) Penerimaan Negara dari sumber daya lam sektor kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terdiri dari:
  a. Penerimaan Iuran Hak Penguasaan Hutan;
  b. Penerimaan Provinsi Sumber Daya Hutan
(2) Bagian Daerah dari penerimaan negara Iuran Hak Penguasaan Hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dibagi dengan perincian:
  a. 16% (enam belas persen) untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan;
  b. 64% (enam puluh empat persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil.
(3) Bagian Daerah dari penerimaan negara Provisi Sumber Daya Hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dibagi dengan perincian:
  a. 16% (enem belas persen) untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan;
  b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil;
  c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi yang bersangkutan.

Pasal 10

(1)

Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan umum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 8 terdiri dari:
a. Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent)
b. Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Tetap (Land-rent)

(2) Bagian Daerah dari penerimaan negara Iuran Tetap (Land-rent) sebagaimana dimaksudkan dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dibagi dengan perincian:
  a. 16% (enam belas persen) untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan;
  b. 64% (enam puluh empat persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil.
(3)

Bagian Daerah dari penerimaan negara Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalty) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, debagi dengan perincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil;
c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan.

(4) Bagian Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua Kabupaten/Kota dalam Propinsi yang bersangkutan.

Pasal 11

(1) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor perikanan sebagaimana dimaksud Pasal 8 terdiri dari:
  a. Penerimaan Pengutan Penguasaan Perikanan;
  b. Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan
(2) Bagian Daerah dari penerimaan negara sektor perikanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.

Pasal 12

(1) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dibagikan ke darah adalah penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lain.
(2) Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi dan gas alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) dibagi sebgai berikut:
  a. Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi dibagi dengan imbangan 85% (delapan puluh lima persen) untuk pemerintah pusat dan 15% (lima belas persen) untun Daerah.
  b. Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam dibagi dengan imbangan 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30% (tiga puluh persen) untuk Daerah
(3) Bagian Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, dibagi dengan rincian sebagi berikut :
  a. 3% (tiga persen) dibagikan untuk Propinsi yang bersangkutan;
  b. 6% (enam persen) dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil;
  c. 6% (enam persen) dibagikan untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi yang bersangkutan
(4) Bagian Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua Kabupaten/Kota dalam Propinsi yang bersangkutan.
(5) Bagian Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, dibagi dengan rincian sebagai berikut:
  a. 6% (enam persen) dibagikan untuk propinsi yang bersangkutan;
  b. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil;
  c. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi yang bersangkutan.
(6) Bagian Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua Kabupaten/Kota dalam Propinsi yang bersangkutan.

Bagian Keempat
Tata Cara Penghitungan dan Penyaluran Bagian Daerah
dari Penerimaan Sumber Daya Alam

Pasal 13

(1) Menteri Teknis setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah menetapkan Kabupaten/Kota penghasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12.
(2) Menteri Teknis menetapkan dasar penghitungan bagian Daerah Kabupaten/Kota penghasil setelah berkonsultasi dengan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
(3) Menteri Teknis menyampaikan dasar penghitungan bagian Daerah Kabupaten/Kota penghasil kepada Menteri Keuangan, Gubernur, dan Bupati/Walikota yang bersangkutan.
(4) Menteri Keuangan menetapkan jumlah dana bagian Daerah untuk masing-masing Daerah.

Pasal 14

(1) Jumlah dana bagian Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) disalurkan langsung ke Kas Daerah oleh Menteri Keuangan secara berkala.
(2) Ketentuan pelaksanaan penyaluran bagian Daerah dan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan

BAB III

DANA ALOKASI UMUM

Pasal 15

(1) Dana Alokasi Umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
(2) Penggunaan Dana Alokasi Umum diteteapkan oleh Daerah.

Pasal 16

(1) Dana Alokasi Umum terdiri dari:

a.
Dana Alokasi Umum untuk Propinsi;
b.
Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten/Kota
(2) Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari Penerimaaan Dalam Negeri Yang ditetapkan dalam APBN
(3) Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen) dari Dana Alokasi Umum sebagaimana yang ditetapkan dalam ayat (2).

Pasal 17

(1) Dana Alokasi Umum Bagi masing-masing Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 16 ayat (3) dihitung berdasarkan perkalian dari jumlah Dana Alokasi Umum bagi seluruh Daerah, dengan bobot Daerah yang bersangkutan dibagi dengan jumlah masing-masing bobot seluruh Daerah di seluruh Indonesia.
(2) Bobot Daerah sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan
a. Kebutuhan wilayah otonomi Daerah;
  b.Potensi ekonomi Daerah
(3) Kebutuhan wilayah otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dihitung berdasarkan perkalian antara Pengeluaran Rata-Rata dengan penjumlahan dari Indeks Penduduk, Indeks Luas Daerah, Indeks Harga Bangunan dan Indeks Kemiskinan Relatif setelah dibagi empat.
(4) Potensi ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dihitung berdasarkan perkalian antara penerimaan daerah rata-rata dengan penjumlahan dari Indeks industri, Indeks sumber daya alam, dan Indeks sumberdaya manusia setelah dibagi tiga.
(5) Dana Alokasi Umum suatu Daerah adalah Kebutuhan Daerah yang bersangkutan dikurangi Potensi ekonomi Daerah.
(6) Bobot Daerah adalah proporsi kebutuhan Dana Alokasi Umum suatu Daerah dengan Total Kebutuhan Dana Alokasi Umum seluruh Daerah.
(7) Hasil perhitungan Dana Alokasi Umum untuk masing-masing Daerah ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usulan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
(8) Usulan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (7) setelah mempertimbangkan faktor penyeimbang.

Pasal 18

(1) Rincian Dana Alokasi Umum kepada masing-masing Daerah disampaikan oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
(2) Penyaluran Dana Alokasi Umum kepada masing-masing Kas Daerah dilaksanakan oleh Menteri Keuangan secara berkala.
(3) Ketentuan pelaksanaan penyaluran Dana Alokasi Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diataur lebih lanjut dengan keputusan Menteri Keuangan.

BAB IV
DANA ALOKASI KHUSUS

Pasal 19

(1) Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN depada Daerah tertentu untuk membantu membiayai khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
(2) Kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
  a. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus alokasi umum; dan atau
  b. kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional
(3) Kriteria teknis sektor/kegiatan yang dapat dibiayai dari Dana Alokasi Khusus ditetapkan oleh Menteri Teknis/instansi terkait.
(4) Sektor/kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari Dana Alokasi Khusus adalah biaya administrasi, biaya penyiapan proyek, biaya penelitian, biaya pelatihan, biaya perjalanan pegawai Daerah dan lain-lain biaya umum sejenis.
(5) Penerimaan negara yang berasal dari Dana Reboisasi sebesar 40% (empat puluh persen) disediakan kepada kepada Daerah penhasil sebagai bagian Dana Alokasi Khusus untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh Daerah penghasil.

Pasal 20

Jumlah Dana Alokasi Khusus ditetapkan setiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan masing-masing bidang pengeluaran yang disesuaikan kebutuhan.

Pasal 21

(1) Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf a, dialokasikan kepada Daerah tertentu berdasarkan usulan Daerah.
(2) Pembiayaan kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 memerlukan dana penda,ping dari penerimaan Umum APBD.
(3) Porsi dana pendampingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen).
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) adalah pembiayaan kegiatan reboisasi yang berasal dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (5)
(5) Pengalokasian Dana Alokasi Khusus kepada Daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri teknis terkait dan instansi yang membidangi perencanaan pembangunan nasional.

Pasal 22

(1) Ketentuan tentang penyaluran Dana Alokasi Khusus kepada Daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(2) Ketentuan pelaksanaan penyaluran Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 23

(1) Menteri Teknis/instansi terkait melakukan pemantauan dari segi teknis terhadap proyek/kegiatan yang dibiayai dari Dana Alokasi Khusus
(2) Pemerikasaan atas penggunaan Dana Alokasi Khusus oleh Daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 24

(1) Dengan berlakukanya Peraturan Pemerintahan ini, pelaksanaan alokasi Dana Alokasi Umum disesuaikan dengan proses penataan organisasi pemerintahan daerah dan proses pengalihan pegawai ke Daerah.
(2) Dalam hal pegawai Pemerintah Pusat yang telah ditetapkan untuk dialihkan kepada Daerah belum sepenuhnya menjadi beban Daerah, pembayaran gaji pegawai tersebut diperhitungkan dengan alokasi Dana Alokasi Umum bagi Daerah yang bersangkutan.
(3) Jangka waktu masa peralihan adalah sampai dengan semua pegawai Pemerintah Pusat yang telah ditetapkan untuk dialihkan kepada Daerah telah sepenuhnya menjadi beban Daerah yang bersangkutan

BAB IV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 25

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2000

SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

 

ttd

 

DJOHAN EFFENDI

 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2000

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

ttd

 

ABDURRAHMAN WAHID